SEJARAH DESA TIHINGAN
Dalam hal penulisan ini kami mempergunakan sejarah singkat karena sangat terbatasnya waktu penelitian dan sangat minimnya pengetahuan kami dalam mengemban tugas yang sangat luas dan mencakup waktu yang telah lampau mungkin dari Zaman Prasejarah dan sampai masa kini, dan sangat rumit karena tinjauan suatu Desa dari segala segi meliputi : segi social, ekonomi, cultut, agama dan politik yang tidak boleh di abaikan.
Untunglah masih tersimpannya benda – benda Purbakala di Pura – pura hingga dapat membantu kearah penyusunan tulisan ini, disamping berdasarkan informasi dari para sesepuh yang sedikit banyak mengetahui hal – hal yang berkaitan dengan apa yang akan kami uraikan.
Desa Tihingan adalah Desa Administratif yang dikepalai oleh seorang kepala Desa dengan memwahkan 4 (empat) Dusun yaitu :
Memiliki dari susunan pura – pura yang ada serta benda – benda Purbakala yang tersimpan di dalamnya, kemungkinan Desa Tihingan terdiri dari 2 (dua) Desa Adat yaitu :
Dimana kedua Desa Adat ini sangat purba, dan barulah kemudian terbentuk Desa Adat yang terakhir yaitu Desa Adat Tihingan, Pengungkapan tentang Desa Adat ini merupakan sejarah Desa itu sendiri yang akan kami uraikan berdasarkan materi – materi pembentuk sejarah yang kami peroleh.
Kata Tihingan kami temukan dalam Prasasti Kumpulan Dr.GORIS, yang berbunyi: KABUKATING LAKU LANGKAH KAYU TRING TIHING TANGGUNG YATHA TERIYA BESAR SENI; yang artinya ada suatu kelompok masyarakat yang bertugas untuk menjamin segala keperluan akan kayu demikian pula segala keperluan akan bambu dan alat dari bambu yang berseni (dianyam) untuk dipergunakan oleh para penguasa pada aci dipura – pura dalam upacara yadnya, kelompok ini mendapat hal bebas (luput) dari kewajiban – kewajiban yang lain.
Berdasarkan pengetahuan ini dan membandingkan pula bahwa di Bali banyak Desa yang bernama sesuai dengan tugasnya di masyarakat seperti Sangging, Pande, Pegending, Parbuayang dan mana-nama ini adalah nama Purba, maka kemungkinan Desa Tihingan adalah sesuai dengan nama-nama Desa Tihingan yang ada di Kabupaten lain di Bali, dahulu adalah kelompok keluarga yang mempunyai tugas istimewa dalam hal menyediakan alat-alat dari bambu (tihing) yang berbentuk saingan, kukusan, sok, dan lain-lain. Yang dipergunakan dalam upacara yadnya.
Kami cenderung akan pendapat bahwa diwilayah Tihingan sudah ada suatu kelompok masyarakat sejak dulu kala. Mengingat adanya patung SIWA dan alat-alat SIWA PAKERANAN dan tarakota yang tersimpan dipura Puseh Tihingan yang mungkin bermasa tahun ke 14. Kemudian kecuali kelompok masyarakat yang tinggal disini berkembang, maka oleh penguasa (Raja) pemukiman diwilayah Tihingan dipandang sangat strategis untuk menghadapi kekuatan – kekuatan kerajaan lain, sehingga perlu ditaruh prajurit – prajurit pilihan (dinding dada) untuk menetap sepanjang tepi bagian timur Kali Bubuh dan diantaranya banyak yang berdiam di Tihingan sebagai pendatang baru. Demikian Tihingan yang tadinya terdiri dari hutan bambu dengan jumlah penduduk yang sedikit, akibat strategi pertahanan di abad ke 19 ini menjadi lebih ramai dan berkembang hingga menjadi suatu Banjar bahkan suatu Desa Adat yang makmur.
Siapakah kekuatan yang harus dibendung oleh Raja Klungkung hingga mengadakan pemindahan penduduk dan membuat parit-parit pertahanan di sebelah timur Kali Bubuh di bawah pimpinan 3 (tiga) orang Brahmana keturunan IDA PEDANDA SAKTI BENDESA.
Di dalam Babad SEMARA PURA disebutkan bahwa Raja Klungkung I DEWA AGUNG SAKTI (abad ke : 19) permulaan, tidak waras ingatannya, sehingga putra mahkota yang ber ibu dari Karangasem yang bernama I DEWA AGUNG PUTRA terpaksa harus dilarikan ke Karangasem oleh Ibunda Beliau. Sedangkan di Kerajaan Klungkung Adinda raja yang bernama I Dewa Agung Panji mengambil alih pemerintahan dengan berkedudukan di Kusamba. Beliau memerintah sangat baik dan adil. Tetapi putra mahkota yang berada di Karangasem datang menyerbu pamanda Beliau ke Kerajaan Klungkung. Dewa Agung Putra akhirnya berkedudukan di Kusamba yang bergelar I DEWA AGUNG PUTRA atau DEWA AGUNG PUTRA KUSAMBA (1825).
Dalam kedudukan yang tergeser ini, maka DEWA AGUNG PANJI atas bujukan DEWA AGUNG MANGGIS diminta untuk menjadi raja di Tulikup (Gianyar) sehingga kedudukan I Gusti Pinatih dapat disingkirkan dari Tulikup. Menghadapi kenyataan ini I DEWA AGUNG PUTRA merasa was-was, jangan – jangan Pamanda beliau akan mengadakan pembalsan kembali.
Oleh karena itu I DEWA AGUNG PUTRA yang mendapat bantuan sepenuhnya dari raja dan rakyat Karangasem mengatur strategi dengan memperkuat pertahanannya disebelah timur Kali Bubuh sampai keselatan dengan memindahkan penduduk dari wilayah Karangasem (Toh Jiwa, Wangsean, Lebu,Sukahet) dan dari sebelah timur Kali Unda (Pangi, Pikat, Gunaksa, dawan) yang merupakan pertahanan prajurit yang teguh. Sedangkan sebagai inti Desa Penasan Aji (sebagian dari desa Penasan) dipindahkan ke daerah sebelah selatan yakni Lepang dan sebagian di Umesalakan.
Kemudian ternyata I DEWA AGUNG PANJI setelah berputar dua orang digeser lagi dari Tulikup ke Timur Laut yaitu kea rah Getakan, Anjingan.
Untuk menghadapi pemusatan yang berpindah inilah Raja Klungkung menambah kekuatan prajurit disekitar Penasan dan Tihingan sampai Sengkiding dan Timuhun.
Demikian sekilas lintas sejarah atau riwayat Desa Tihingan yang sudah tentu kurang memuaskan bagi para pembaca karena riwayat ini kami susun secara ringkas dengan mengambil garis besarnya saja.